Adil Ka Talino Bacuramin Ka Saruga Basengat Ka Jubata,, arusss arusss.. Kami Rakyat Kalimantan Barat mohon pemerintah segera mengambil langkah guna menanggulangi bencana kabut asap, tolong kami

Jumat, Desember 10, 2010




DI jual Murah Sebuah Handycam harga Rp.2.350.000 Nego. Yang mau silahkan datang di jln. Kom. Yos soedarso( Jeruju ) Gang Tri. Putri Nomor 1. Pontianak ATAU HUBUNGI DI NOMOR 085737015827 (DANY)

Jumat, September 24, 2010

ANALISA TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI TERHADAP PENYAMPAIAN SPT DI KOTA PONTIANAK

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak merupakan suatu upaya guna peningkatan pendapatan Negara yang di dalam implementasinya pajak di gunakan untuk pembiayaan APBN dan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih baik, pengertian pajak secara umumnya adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum Rochmat Soemitro (2002 : 25, Bohari). Dalam perjalanannya pajak telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi Negara sehingga pajak berpengaruh besar dalam rangka terselenggaranya tugas pemerintah.
Untuk lebih memperkokoh pondasi yang telah ada sehingga lebih kuat untuk pertama kalinya di adakan pembaharuan system perpajakan nasional melalui tax reform (reformasi perpajakan) sehingga melahirkan undang-undang perpajakan yang lebih bisa di pahami oleh masyarakat karena undang-undang yang sebelumnya dipandang tidak akomodatif lagi dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman serta perekonomian nasional.
Pemerintah selama ini telah melakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan perekonomian nasional guna melaksanakan arah pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia yang tidak hanya untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan akan tetapi juga untuk memberdayakan masyarakat untuk serta dalam pembangunan tersebut.
Pembangunan adalah kegiatan yang berlangsung terus-menerus serta berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual, untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan, maka dari itu pemerintah melakukan berbagai upaya untuk membiayai penyelenggaran pembangunan tersebut, salah satunya dengan mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau Negara adalah pembiayaan pembangunan dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri, salah satunya berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Seperti halnya wajib pajak orang pribadi di kota Pontianak yang harus taat melaporkan Surat Pemberitahuannya kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak tepat pada waktunya.
Kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan sangat berpengaruh pada pelaporan SPT Tahunan pada Kantor Pelayanan Pajak Pontianak yaitu terlihat pada pada tabel 1.1
Adapun perkembangan jumlah Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Pelaporan SPT Tahunan dapat dilihat pada tabel 1.1:
Tabel 1.1
Jumlah Wajib Pajak yang melaporkan SPT Tahunan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak
Tahun 2007 – 2009

No Tahun Wajib Pajak Terdaftar Wajib Pajak Yang Melaporkan SPT Persentase (%)
1 2007 29.789 8.430 28.29
2 2008 45.999 19.914 43.29
3 2009 96.023 17.494 18.21
Sumber : KPP Pontianak 2010
Berdasarkan tabel 1.1 di atas pada tahun 2007, jumlah Wajib Pajak yang terdaftar sebanyak 29.789 dari jumlah Pelaporan SPT sebanyak 8.430 atau tingkat Kepatuhan Wajib Pajak sebesar 28.29% kemudian pada tahun 2008 Wajib Pajak terdaftar sebanyak 45.999, dari jumlah Pelaporan SPT sebanyak 19.914 atau tingkat kepatuhan 43,29%, dan pada tahun 2009 jumlah Wajib Pajak terdaftar sebanyak 96.023 dari jumlah Pelaporan SPT sebesar 17.494 atau tingkat kepatuhan sebesar 18,21%.
Tabel 1.1 di atas pada tahun 2007 tingkat persentasenya adalah sebesar 28.29%, untuk tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 43.29%, tetapi pada tahun 2009 tingkat persentase kepatuhan Wajib Pajak kembali mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu sebesar 18.21%
Dengan melihat permasalahan yang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”ANALISA TINGKAT KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI TERHADAP PENYAMPAIAN SPT DI KOTA PONTIANAK ”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah ” Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT Di Kota Pontianak ”.

C. Pembatasan masalah
Agar dalam pembahasan masalah tidak terlalu meluas dan tidak sesuai dengan masalah yang diangkat, maka penulis membatasi masalah hanya pada:
“Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT di Kota Pontianak Tahun 2009”.

D. Tujuan dan Manfaat penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Bagaimana Upaya Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak Dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan SPT Tahunan.
2. Untuk mengetahui Hambatan – Hambatan yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak dalam meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan SPT Tahunan Pajak Pengahasilannya.
3. Untuk mengetahui Bagian – Bagian Yang Terkait dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan SPT Tahunan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.

2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini adalah :
1. Bagi Penulis
Dengan mencoba serta melakukan penelitian yang berupa kasus, ini sangat berguna bagi penulis karena penulis bisa mengaplikasikan ilmu yang selama ini penulis dapat dibangku kuliah, juga sebagai sarana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang penulis miliki, serta melatih diri agar dapat berfikir secara ilmiah.
2. Bagi Akademisi
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penilaian studi akhir jurusan manajemen perpajakan.
3. Bagi Kantor Pelayanan Pajak
Sebagai sarana untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam rangka peningkatan kinerja dan pelayanan pada masa yang akan datang.

E. Tinjauan Literatur
1. Pajak
Pada zaman dahulu sewaktu bentuk pemerintahan masih bersifat kerajaan, pajak pada mulanya bukan merupakan pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti kebersihan, pembangunan jalan, pengairan, keamanan negara dan pembayaran gaji pegawai. Perkembangan berikutnya, setelah uang mulai digunakan sebagai alat untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dan kebutuhan negara akan dana untuk melaksanakan pemerintahannya semakin membesar, maka pemberian-pemberian yang bersifat sukarela tersebut menjadi pemberian yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dan dapat dipaksakan. Dengan demikian pajak yang semula merupakan persembahan secara sukarela dalam bentuk barang dan tenaga kerja berubah menjadi pungutan yang lebih bersifat wajib dalam bentuk uang. Setelah terbentuknya negara-negara nasional dan terpisahnya antara rumah tangga negara dengan rumah tangga pribadi raja, pemungutan pajak merupakan sumber penerimaan negara dan pemungutannya berdasarkan undang-undang dan akhirnya timbul berbagai macam definisi mengenai pajak.

Pengertian pajak menurut UU RI No 28 tahun 2007, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Pajak menurut Adriani (Siti Resmi, 2005:1), Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Soemitro (Valentina S.Sumardiyanti, 2006:3), ’Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran untuk kepentingan umum’, Menurut Goode (1984:75) “A tax is a compulsory contribution to government made with our references to particular benefit received by taxpayer” (Pajak adalah suatu sumbangan yang bersifat wajib kepada pemerintah yang dibuat dengan undang-undang tertentu yang manfaatnya diterima oleh wajib pajak).

2. Pengertian Kepatuhan
Kepatuhan Wajib Pajak di awali dengan adanya kesadaran Wajib Pajak mengenai kewajibannya dalam hal perpajakan. Kesadaran adalah factor yang berasal dari kemauan dan perubahan sikap Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan hak pajaknya.
Menurut Drs. Sri Nurmantu ( 2003 : 148 ), ada dua macam kepatuhan yaitu:
1. ) Kepatuhan Formal
Kepatuhan Formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan.
2. ) Kepatuhan Material
Kepatuhan Material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive / hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi juga kepatuhan formal, jadi Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material dalam mengisi SPT Wajib Pajak Orang Pribadi adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, baik dan benar SPT tersebut sesuai dengan Undang-undang PPh dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu yang di tentukan.

Kepatuhan dapat diwujudkan misalnya dengan penyuluhan, pelayanan, dan penegakan hukum yang dapat berupa pemeriksaan, penyidikan dan penagihan dengan menempatkan wajib pajak sebagai subyek yang dihargai hak-hak dan kewajibannya. Tingkat kepatuhan wajib pajak yang dimaksud dalam hal ini adalah kepatuhan wajib pajak efektif dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kadang Wajib Pajak memang sengaja menghindari kewajiban perpajakannya dengan tidak menyampaikan SPTnya kepada KPP bahkan masih banyak Wajib Pajak yang melalaikan pajaknya yaitu menolak membayar pajak yang telah di tetapkan dan menolak memenuhi formalitas yang harus di penuhi olehnya.
Ada juga Wajib Pajak yang memberikan ketidakjelasan alamat kepada KPP sehingga SPT yang dikirimkan tidak diterima oleh Wajib Pajak yang bersangkutan akibatnya Wajib Pajak merasa tidak mempunyai kewajiban menyampaikan SPT Tahunan karena tidak menerima SPT tersebut.

3. Pengertian Sunset Policy
Sunset Policy adalah nama kebijakan dalam suatu undang-undang yang bersifat khusus dan berlaku untuk jangka waktu yang terbatas (hanya selama tahun 2008). Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Sunset Policy dapat diartikan sebagai pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang KUP), Tujuan di adakannya Sunset Policy adalah Memberi kesempatan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memperoleh fasilitas penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak atau bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar. Adapun yang dapat memanfaatkan Sunset Policy adalah Orang Pribadi yang belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang dengan suka rela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun 2008, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2007 atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya dalam kurun waktu mulai tanggal 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Maret 2009.
Adapun syarat untuk mendapat fasilitas Sunset Policy adalah sebagai berikut:
- Tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidikan, Penuntutan atau Pemeriksaan di Pengadilan atas Tindak Pidana di bidang perpajakan;
- Melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar dan kemudian menyampaikan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Wajib Pajak yang memanfaatkan Sunset Policy memperoleh keuntungan antara lain:
a. Sanksi Pajak berupa bunga atas keterlambatan pembayaran pajak masa lalu yang baru dibayar dalam periode Sunset Policy dihapuskan dengan cara tidak ditagih.
b. Data dan informasi yang diungkapkan Wajib Pajak dalam SPT atau pembetulan SPT Tahunan PPh sehubungan dengan pemanfaatan Sunset Policy, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan, kecuali apabila ditemukan data konkrit yang menyatakan bahwa SPT yang disampaikan tersebut tidak benar.
c. Apabila Wajib Pajak sedang diperiksa dan pemeriksa belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak, pemeriksaan tersebut dihentikan.
d. Data dan/atau informasi yang tercantum dalam SPT atau pembetulan SPT Tahunan PPh terkait dengan pemanfaatan Sunset Policy tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas jenis pajak lainnya.

Disamping itu, Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memiliki NPWP memperoleh juga manfaat berupa:
a. Terhindar dari pemotongan pajak yang lebih tinggi dari tarif yang seharusnya pada tahun 2009 dan selanjutnya, yakni untuk PPh Pasal 21 dipotong 20% labih tinggi dari tarif umum dan untuk pemotongan PPh Pasal 22 atau Pasal 23 dipotong 100% lebih tinggi dari tariff umum.
b. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang akan berangkat ke luar negeri, mulai tahun 2009 dibebaskan dari membayar Fiskal Luar Negeri.


4. Pengertian SPT
Surat Pemberitahuan ( SPT ) setiap wajib pajak mempunyai kewajiban untuk membayar pajak oleh karena itu untuk menyampaikan pajak tersebut dibutuhkan lembar Surat Pemberitahuan ( SPT ) khususnya SPT Tahunan, terutama untuk orang pribadi yang sudah bekerja dan mempunyai penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak atau yang biasa disebut PTKP.
Oleh karena itu sebagai sarana untuk menyampaikan dan melaporkan penghitungan dan pembayaran jumlah pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi ke Kantor Pelayanan Pajak maka wajib pajak khususnya orang pribadi memerlukan Surat Pemberitahuan guna mempermudah melaksanakan penyampaian dan pelaporannya. Untuk lebih jelas dibawah ini ada beberapa pengertian dari Surat Pemberitahuan.
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undang – Undang Nomor 6 tahun 1983 ( Adriana, 2003 : 84 ) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah: “ mengisi Fomulir Surat Pemberitahuan dengan benar, jelas, dan lengkap sesuai dengan petunjuk yang diberikan berdasarkan ketentuan, peraturan perundang-undangan perpajakan yang baru”.
Karena fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana wajib pajak untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang terutang dalam pembayarannya. Maka wajib pajak sebaiknya juga menyerahkan dan melaporkan surat pemberitahuan beserta dokumen – dokumen lain yang di perlukan seperti jumlah penghasilan, jumlah peredaran, jumlah penghasilan kena pajak, jumlah kekurangan, dan kelebihan pajak, surat setoran pajak lampiran ke 3.
Menurut Resmi (2003 : 28) mendefinisikan bahwa, “Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan”. Fungsi Surat Pemberitahuan menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 3 ayat 1 adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. Harta dan kewajiban; dan/atau
d. Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan.
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
a. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
b. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/ atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya. Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar,lengkap,dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. Benar adalah benar dalam penghitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan sebenarnya.
b. Lengkap adalah memuat semua unsur – unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur – unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
c. Jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur – unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar,lengkap,dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang di tetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.


5. Kewajiban Wajib Pajak
Sesuai dengan sistem self assessment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya.
Kewajiban Wajib Pajak menurut Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000 adalah:
1 ). Mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP)
2 ). Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar.
3). Mengambil sendiri Surat Pemberitahuan, mengisinya dengan benar dan memasukkannya sendiri ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah disiapkan.
4). Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan.
5). Jika diperiksa, wajib:
a). Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang dasarnya dan dokumen lain berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
b). Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat/ruangan guna memperlancar pemeriksaan.

6. Hak Wajib Pajak
Wajib pajak selain mempunyai kewajiban juga mempunyai hak untuk mendapatkan kerahasiaan atas seluruh informasi yang telah disampaikan pada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Berkaitan dengan pembayaran pajak terutang,
Wajib Pajak berhak memperoleh :
1. Pengangsuran pembayaran, apabila wajib pajak mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak mampu untuk membayar pajak sekaligus.
2. Pengurangan PPh Pasal 25, apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan keuangan dikarenakan usahanya mengalami kesulitan sehingga tidak mampu membayar angsuran yang sudah ditetapkan sebelumnya.
3. Pengurangan PBB, pemberian keringanan pajak yang terutang atas Objek Pajak.
4. Pembebasan Pajak, apabila wajib pajak mengalami musibah dikarenakan force mayeur seperti bencana alam. Dalam hal ini DJP akan mengeluarkan suatu kebijakan.
5. Pajak ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan dan supplier utama ditanggung oleh pemerintah
6. Insentif Perpajakan, untuk merangsang investasi
7. Penundaan pelaporan SPT Tahunan, Apabila Wajib Pajak tidak dapat menyelesaikan/menyiapkan laporan keuangan tahunan untuk memenuhi batas waktu penyelesaian, Wajib Paja berhak mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan paling lama 6 (enam) bulan.
8. Restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran pajak), apabila wajib pajak merasa bahwa jumlah pajak atau kredit pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain.
9. Keberatan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan ke DJP. Apabila dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga,
10. Banding, Apabila hasil proses keberatan dirasa masih belum memuaskan Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.
11. Peninjauan Kembali, Apabila Wajib Pajak tidak/belum puas dengan putusan Pengadilan Pajak, maka pihak yang bersengketa dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak dan hanya dapat diajukan satu kali.

Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan pajak, apabila jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Penyidikan Tindak Pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

7. Sanksi – sanksi
a. Sanksi Administrasi
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah di tentukan maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 sesuai dengan Undang – Undang No 28 Tahun 2007 Pasal 7 Tentang perubahan ketiga atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pembayaran denda tersebut dapat dilakukan sendiri oleh pemotong pajak dengan Surat Setoran Pajak tersendiri, terpisah dari Surat Setoran Pajak untuk pembayaran kekurangan pokok pajak.

b. Sanksi Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga yang dikenakan terhadap keterlambatan dan atau kekurangan penyetoran pajak termasuk karena pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan oleh Wajib pajak. Selain itu, apabila pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan lebih besar dari pajak yang terutang menurut penghitungan sementara pada waktu mengajukan permohonan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, maka atas selisihnya ( kekurangan pajak yang masih harus di setor ) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% ( dua persen ) sebulan.
c. Sanksi Kenaikan
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah di tentukan dalam Surat Teguran, maka di keluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ( SKPKB ) dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% ( seratus persen ) dari jumlah Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang kurang/ tidak di setor dalam satu tahun pajak.
d. Sanksi Pidana
a. Dalam hal pemotong pajak karena kealpaan tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan atau melaporkan tetapi isinya tidak benar atau lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulka kerugian pada Pendapatan Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
b. Apakah pemotong pajak melakukan percobaan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling tinggi 4 kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh pemotong pajak.
c. Dalam hal pemotong pajak dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dan atau surat keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap atau tidak disetorkan pajak yang telah di potong atau dipungut sahingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dipidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang , yang tidak jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.
8. Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi

Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri dari induk Surat Pemberitahuan dan lampiran – lampiran yang merupakan satu kesatuan sebagai unsure keabsahan Surat Pemberitahuan.
Induk Surat Pemberitahuan dan lampiran – lampiran masing – masing di beri Nomor, Kode, dan nama Formulir seperti terlihat pada tabel 1.2 berikut ini :



Tabel 1.2
Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan Tahunan
Wajib Pajak Orang Pribadi
No Kode Formulir Nama Formulir Keterangan
1. 1770 Surat Pemberitahuan Tahunan Penghasilan Wajib Orang Pribadi. Induk SPT
2. 1770-1 Penghitungan Penghasilan Neto Dalam Negeri Dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas bagi Wajib Pajak yang Menggunakan Pembukuan. Lampiran 1
3. 1770-II Daftar Pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan yang di tanggung Pemerintah, Penghasilan Neto dan Pajak atas Penghasilan yang dibayar/dipotong/terutang di luar Negeri Lampiran II
4 1770-III Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final, dikenakan pajak tersendiri penghasilan pengusaha tertentu serta penghasilan yang tidak termasuk objek pajak Lampiran III
5. 1770-IV Daftar harta dan kewajiban pada akhir tahun Lampiran IV






BAB II
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini bentuk penelitian yang dilakukan adalah “Metode deskriftif” yang berdasarkan pada penelitian lapangan (field research), yang didefinisikan sebagai suatu metode yang digunakan oleh penulis dengan menggambarkan atau mendefinisikan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik dari kejadian-kejadian yang terjadi dilapangan. (Hasan, 2002:22)
Metode deskriftif yang digunakan penulis bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, mengidenfikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi, dan menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan yang akan datang.

B. Lokasi Penelitian
Dalam mengumpulkan data penulis melakukan penelitian di Kantor Pelayanan Pajak Pontianak yang beralamat di Jalan Sultan Abdurrahman No.1 Pontianak Kalimantan Barat.



C. Sumber Data
Untuk memperoleh data dan informasi didalam penelitian ini penulis menggunakan 2 ( dua ) sumber data yaitu :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama khususnya informasi dan wawancara tanpa melalui orang lain.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah Data yang diperoleh dari data yang tersedia dari pihak bersangkutan yang bersifat dokumen – dokumen.

D. Teknik Pengumpulan data
1. Teknik Wawancara
Menurut Hasan (2002:85) “Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh wawancara kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam”.
Suatu teknik yang digunakan dalam pengambilan atau pengumpulan data yang didapat penulis dengan cara mengadakan tanya jawab atau komunikasi secara langsung kepada pihak-pihak yang terkait mengenai masalah yang diambil. Pada penulisan ini penulis menggunakan teknik wawancara tidak berstruktur dimana penulis tidak menggunakan daftar pertanyaan sebagai penuntun selama dalam proses wawancara.


2. Teknik Studi Kepustakaan
Suatu teknik pengambilan atau pengumpulan data yang digunakan penulis yang diperoleh dari buku-buku yang bersumber dari bahan-bahan literatur yang berkaitan dengan masalah yang diambil dalam penulisan tugas akhir sehingga dari teknik studi kepustakaan ini dapat menghasilkan data yang berupa teori-teori dan pendapat para pakar yang telah diterima dan diakui kebenarannya oleh masayarakat umum dengan ini penulis memanfaatkan teori-teori yang ada dibuku atau hasil penelitian lain untuk kepantingan penelitian dengan cara mengutip, mendalami, mencermati, menelaah, dan mengidenfikasikan pengetahuan yang ada dalam kepustakaan (sumber bacaan, buku-buku referensi atau hasil penelitian lain.
E. Teknik Analisis Data
Menurut Hasan (2002:97), analisa data adalah ”Proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.
Analisis data yang digunakan penulis dalam pembahasan berupa data deskriftif kualitatif dengan mengambarkan kejadian di lapangan dengan data dan fakta yang diperoleh. Setelah semua data dan keterangan baik (fakta-fakta dan catatan-catatan) yang diperlukan melalui proses teknik pengumpulan data selanjutnya langkah yang dilakukan penulis adalah mengolah, menganalisa dan merincikan data tersebut dengan berpedoman pada literatur dan landasan teori-teori yang telah ada sebagai bahan pertimbangan terhadap masalah yang diambil untuk diteliti. Dan dengan hasil analisa data tersebut kemudian akan ditarik kesimpulan.

BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sejarah Terbentuknya KP3 Pontianak
Kantor Pelayanan pajak Kota Pontianak merupakan salah satu instansi pemerintah dibawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia dalam menangani penerimaan Negara yang berasal dari pajak dan berkedudukan di Pontianak. Departemen Keuangan Republik Indonesia membawahi beberapa Direktorat Jenderal dan Inspektorat Jenderal yaitu :
1. Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan
2. Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan
3. Direktorat Lembaga Keuangan
4. Direktorat Jenderal Perbendaharaan
5. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara
6. Direktorat Jenderal Pajak
7. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
8. Badan Pengawas Pasar Modal
9. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan dan Kerjasama Internasional
10. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Sejak jaman Belanda Kantor Pajak sudah berdiri dengan nama Inspectitie Van Financien (IF). Pada Jaman Jepang, nama tersebut berubah menjadi Zeisushoco berubah menjadi Kantor Inspeksi Keuangan (KIK). Pada tahun 1974 nama tersebut diganti lagi menjadi Kantor Inspeksi Pajak (KIP). Kantor Inspeksi Pajak mempunyai 3 tipe, yaitu :
a. Tipe A (untuk wilayah propinsi)
b. Tipe B1 (untuk wilayah kota madya)
c. Tipe B2 (untuk wilayah kabupaten)
Nama Kantor Inspeksi Pajak pada tanggal 1 april 1989 diubah lagi menjadi Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Sesuai dengan perubahan tersebut, maka Kantor Pelayanan pajak dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
a. Tipe A (KPP Pusat dengan Jumlah struktur organisasi 9 seksi)
b. Tipe B (KPP Kota Madya dengan jumlah struktur organisasi 7 seksi)
c. Tipe C (Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan)
Menurut Keputusan menteri Keuangan Nomor : 516/KMK/01/1992 tanggal 21 mei 1992, surat edaran dirjen pajak No. 154/PJ.11.3/1992 tanggal 13 Agustus 1992 selanjutnya Kantor Pelayanan Pajak kembali sehingga yang ada hanya tipe A.
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor : KEP-195/PJ/2008 Tanggal 27 November 2008 Kantor Pelayanan Pajak berubah Menjadi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.
Adapun perubahan nama Seksi di KPP Pratama Pontianak adalah Sebagai berikut:
1. Seksi Sub Bagian Umum
2. Seksi Penagihan
3. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
4. Seksi Pengawasan dan Konsultasi I
5. Seksi Pengawasan dan Konsultasi II
6. Seksi Pengawasan dan Konsultasi III
7. Seksi Pemeriksaan
8. Seksi Pelayanan
9. Seksi Ekstensifikasi
10. Fungsional
B. Struktur Organisasi
Kantor Pelayanan Pajak adalah unsur Direktorat Jendral Pajak Didaerah yang mempunyai fungsi atau tugas menghimpun dana dari masyarakat kedalam Anggaran Pandapatan dan Belanja Negara, berdasarkan ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar pemungutan pajak di atur dalam undang-undang perpajakan diantaranya adalah:
1. UU No.6 Tahun 1983 yang telah di ubah dan di tambah dengan UU No.9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah di ubah dan di tambah dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. UU No.7 Tahun 1983 yang telah di ubah dan di tambah dengan UU No. 10 Tahun 1994 tentang pajak penghasilan dan di ubah dan di tambah kembali dengan UU No. 36 Tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Adapun bentuk Struktur Organisasi Kantor Pelayanan Pajak di Pontianak adalah sebagai berikut:


Gambar 3.1
Stuktur Organisasi
Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak





















Sumber data : KPP Pratama Pontianak



29

C. Perincian Tugas Kantor Pelayanan pajak Pratama Pontianak

Dalam suatu instansi, terdapat bagian- bagian atau seksi-seksi yang mempunyai tugas yang berbeda-beda dan saling keterkaitan atau berhubungan erat satu sama lain, begitu pula di dalam Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak yang mempunyai tugas-tugas yang berbeda, adapun tugas-tugas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Mengkoordinir seluruh kegiatan-kegiatan yang ada dalam instansinya.
b. Sub Bagian Tata Usaha
Mengkoordinir tugas-tugas pelayanan kesekretariatan dengan cara mengatur kegiatan tata usaha dan kepegawaian.
c. Tugas Sub Bagian Umum.
1. Mengkoordinasikan penyusunan rencana sub bagian tata usaha.
2. Mengkoordinasi pengurusan surat masuk dan mengarahkannya sesuai dengan seksi pengolahannya dan pengurusan surat keluar dari lingkungan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.
3. Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas tata usaha kepegawaian, keuangan serta sumah tangga untuk menunjang kelancaran tugas KPPP.
4. Mengkoordinasikan penataan berkas arsip umum di lingkungan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.
d. Tugas Seksi Pengolahan data dan Informasi
1. Mengkoordinasikan dan mengawasi penyusunan rencana Kerja seksi pengolahan data informasi
2. Mengkoordinasikan dan mengawasi pengumpulan data potensial perpajakan.
3. Mengkoordinasikan dan mengawasi penatausaan data-data yang masuk dan data-data yang keluar sebagai bahan pengolahan dan penyajian informasi perpajakan.
4. Mengkoordinasikan dan mengawasi pemecahan, pengelompokan, penyortiran dan pengidentifikasian data perpajak untuk menyajikan informasi perpajak yang diperlukan.
e. Tugas Seksi Pelayanan
1. Mengkoorniasikan penyelesaian permohonan pendaftaran wajib pajak dan pengusaha kena pajak
2. Mengkoordinasikan penyelesaian permohonan penghapusan NPWP dan pencabutan pengukuhan PKP
3. Mengirim dan menerima blangko-blangko SPT Tahunan
f. Tugas Seksi Pengawasan dan Konsultasi
1. Menatausahakan dokumen masuk di seksi pengawasan dan konsultasi
2. Menyelesaikan Permohonan Keberatan pajak, Pembetulan Ketetapan Pajak, maupun pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi pajak
3. Memberikan layanan tentang permintaan perubahan tahun buku pertama, permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB), Layanan permintaan Pemusatan PPN dan Penyelesaian pemberian ijin Pembubuhan Tanda Bea Materai Lunas.
4. Memberikan Layanan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak .
5. Menetapkan wajib pajak patuh, pemutahirtan profil WP.
g. Tugas seksi Ekstensifikasi.
1. Melakukan pemprosesan dan penatausahaan dokumen masuk di seksi ekstensifikasi
2. Melakukan pendaftaran atas objek pajak baru, menerbikan surat himbauan untuk ber-NPWP
3. Melakukan pencarian data dalam rangka pembuatan monografi fiscal
4. Melakukan penilaian individual Objek PBB



h. Tugas Seksi Pemeriksaan
1. Melakukan pemprosesan dan penatausahaan dokumen masuk di seksi pemeriksaan
2. Menyelesaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
3. Menatausahakan laporan pemeriksaan pajak (LPP) dan Nota Penghitungan (Nothit).
i. Tugas Seksi Penagihan
1. Memantau besarnya tunggakan Pajak
2. Menertibkan serta menyampaikan surat teguran, surat paksa kepada wajib pajak yang belum melunasi hutang pajaknya.
3. Melakukan penyitaan terhadap barang-barang milik wajib pajak baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak guna melunasi hutang-hutang pajaknya.
j. Seksi Tata Usaha Perpajakan
a. Melakukan urusan tata usaha perpajakan
b. Mengadministrasikan pendaftaran wajib pajak
c. Mengirim surat pemberitahuan tahunan dan ketetapan pajak.
D. Tata Cara Pembayaran SPT Tahunan
Pembayaran SPT Tahunan merupakan kewajiban yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan, adapun tata cara pembayaran meliputi :
1. Bagi Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang terutang untuk melaporkan tentang :
a. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 tahun pajak atau bagian tahun pajak.
b. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak.
c. Harta dan kewajiban
2. Mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.
3. Laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang telah dilaksanakan sendiri dalam 1 Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
4. Laporan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 Masa Pajak.
5. Wajib Pajak dapat memperoleh SPT di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan penyuluhan pajak.
6. Cara Pengisian SPT dan yang menandatanganinya, SPT harus diisi secara benar, jelas, lengkap, dan harus ditandatangani oleh Wajib Pajak. Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus di lampiri surat kuasa khusus.
7. Batas waktu pelunasan setoran akhir kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum SPT Tahunan di sampaikan.
8. Prosedur penyampaian SPT, SPT disampaikan secara langsung atau melalui Pos secara tercatat ke KPP/Kapenpa setempat.
9. Syarat-syarat permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan :
a. Permohonan tersebut harus diajukan secara tertulis sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir.
b. Memberikan pernyataan tertulis tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara.
c. Melunasi kekurangan penyetoran pajak yang terutang.
10. SPT yang tidak disampaikan atau tidak sesuai sampai batas waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda:
a. Rp. 500.000,00 untuk SPT masa
b. Rp. 100.000,00 untuk SPT Tahunan

11. Syarat bagi Wajib Pajak untuk dapat membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh, Wajib Pajak dapat membetulkan sendiri SPT Tahunannya :
A. Sebelum dilakukan pemeriksaan dalam jangka waktu dua tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak:
a. Menyampaikan pernyataan secara tertulis
b. Melunasi pajak yang kurang bayar
c. Ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT.
B. Sesudah dilakukan tindakan pemeriksaan :
a. Sepanjang belum dilakukan tindakan. Penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak
b. Mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut
c. Melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang
d. Ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang bayar
C. Sesudah jangka waktu pembetulan SPT berakhir :
a. Belum diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP)
b. Mengungkapkan laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan, yang mengakibatkan:
1. Pajak yang harus dibayar jadi lebih besar atau
2. Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil, atau jumlah harta menjadi lebih besar, atau jumlah modal menjadi lebih kecil.
3. Melunasi kekurangan pajak yang kurang bayar
4. Ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% ( lima puluh persen) dari pajak yang kurang bayar.

BAB IV
PEMBAHASAN MASALAH

A. Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT di Kota Pontianak

System pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 perubahan ke tiga atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 dan Undang – Undang No 16 Tahun 2000 adalah dengan menggunakan system “ Self Assesment “ dimana Wajib Pajak diberi kekuasaan dan keleluasaan untuk mengitung serta melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Dengan menggunakan system ini Pemerintah mengharapkan kejujuran Wajib Pajak dan kebenaran dalam melaporkan serta menyampaikan SPTnya kepada Kantor Pelayanan Pajak. Menggingat bahwa selama ini Negara begitu mengharapkan agar pendapatan di sector pajak semakin besar maka berbagai upaya pun dilakukan untuk mencapai hal tersebut, terutama untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPTnya Pemerintah pun mengambil kebijakan - kebijakan yang dengan sendirinya kebijakan ini berfungsi agar Wajib Pajak lebih patuh lagi dalam menyampaikan SPTnya kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak Tersebut terdaftar.
Adapun kebijakan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1. Kebijakan dari dalam atau (Internal), dan
2. Kebijakan dari luar atau (eksternal).
Kebijakan - kebijakan tersebut diharapkan mampu menggugah para Wajib Pajak untuk lebih patuh lagi dalam menyampaikan kewajiban perpajakannya kepada Negara.
1. Kebijakan internal
Kebijakan internal dilaksanakan lebih kepada kemampuan meningkatkan Moral, Etika, serta Integritas aparat yang bekerja di Kantor Pelayanan pajak, berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa jika di dalam Kantor Pelayanan Pajak memberikan Fasilitas kepada pegawainya dalam melaksanakan kewajiban agamanya masing – masing dengan melaksanakan kegiatan di bidang keagamaan serta meningkatkan kegiatan keagamaannya.
Kebijakan tersebut antara lain :
1. Bagi yang beragama islam :
a. Sholat Dzuhur dan Azhar secara berjamaah dan dilengkapi dengan Kultum, serta;
b. Buka puasa bersama para pegawai
2. Bagi yang beragama non muslim :
a. Melaksanakan paskah bersama dengan penyejuk iman dari pastor maupun pendeta, serta :
b. Melaksanakan natal bersama para pegawai.
3. Meningkatkan disiplin, dedikasi, dan kejujuran dengan tidak mendatangi atau memeriksa Wajib Pajak tanpa surat tugas serta menjauhkan diri dari tindakan tidak terpuji.
Kebijakan lainnya yang tidak kalah penting untuk dilaksanakan adalah sebagai berikut :
A. Melakukan konsolidasi internal, dengan membuat layanan pengaduan masyarakat.
Memberikan hadiah atau Reward yaitu penghargaan kepada para pegawai yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik dan memberikan sanksi yang tegas kepada pegawai yang sering melalaikan tuganya dalam melayani Wajib Pajak.
B. Melaksanakan penyuluhan, dialog perpajakan, dan membuat e-sistem.
Memasang pengumuman ditempat Pelayanan, semua formulir di sediakan secara Cuma –Cuma, Road show Future, pelaksanaannya dengan cara, Media massa, Banner, famplet, serta akses pajak di www.pajak.go.id secara online.
C. Melakukan pemeriksaan dengan korespodensi ( audit by correspondence) guna menghindari persinggungan antara petugas pajak dengan wajib pajak.
Pada dasarnya dilakukan tanpa persinggungan antara pemeriksa dengan wajib pajak yang dilakukan dengan komunikasi melalui pos secara tercatat. Semua sanggahan, permintaan, data serta bukti, jawaban fiskus dan wajib pajak, sehingga tidak akan terjadi pertemuan secara fisik antara Fiskus dengan Wajib Pajak.

D. Pelayanan kepada Wajib Pajak
a. Dilakukan dengan cara memudahkan memberikan informasi pelayanan dan kemudahan pelayanan melalui pembentukan e-sistem, menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (efiling) yaitu on-line dan real time.
b. Kemudahan informasi
Seperti pelayanan penyediaan kotak pos, dan website
c. Conseling ( wajib pajak di panggil) karena terindikasi melaporkan SPT secara tidak benar.
2. Kebijakan Eksternal meliputi:
a. Sosialisasi
Sosialisasi dilaksanakan secara merata sampai ketingkatan paling bawah, selama ini sosialisasi hanya menyentuh kalangan menengah keatas dan masyarakat perkotaan, hal ini perlu melibatkan aparatur pemerintah daerah dari Gubernur, Walikota, Bupati, serta Camat, sehingga dapat menekan biaya sosialisasi yang cukup tinggi.
b. Pengawasan terhadap kewajiban perpajakan yang meliputi:
1. Pembentukan bank data pajak:
a. SPT Wajib Pajak
b. Lawan transaksi dari SPT wajib pajak


2. Penegakan hukum
Untuk membuat kesadaran agar Wajib Pajak patuh dalam menyampaikan SPTnya perlu ada hukum yang mengatur di antaranya:
a. Pemeriksaan
b. Tindakan dilakukan oleh fiskus dalam rangka melaksanakan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak, untuk mencari bahan-bahan dalam menetapkan jumlah Wajib Pajak yang terutang dan jumlah pajak yang harus di bayar.
3. Pencegahan
Adalah tindakan pelarangan yang bersifat tidak tetap (sementara) terhadap penunggak pajak tertentu untuk keluar dari wiayah NKRI, berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku, adapun pencegahan tersebut adalah sebagai berikut:
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 ( seratus juta rupiah) serta keraguan untuk itikad baiknya dalam melunasi utang pajak, pencegahan terhadap penunggak pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Keputusan pencegahan yang di terbitkan oleh Menteri atas permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan memuat sekurang-kurangnya :
- Identitas penanggung pajak yang dikenakan pencegahan
- Alasan untuk melakukan pencegahan
- Jangka waktu pencegahan.
4. Penyidikan
Tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti sehingga barang bukti tersebut membuat terang tindak pidana dibidang yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
5. Penyanderaan
Merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu. Agar penyanderaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantatif, yakni harus memenuhi hutang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian, Pejabat mendapatkan data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara selektif dan merupakan upaya paling akhir.
6. Wajib Pajak
Menurut Mardiasmo Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak tertentu. Adapun kewajiban dan hak wajib pajak adalah :
Kewajiban :
a. Mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP
b. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
c. Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
d. Mengisi dengan benar SPT ( SPT dapat diambil sendiri), dan dimasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah ditentukan
e. Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
f. Jika diperiksa wajib :
1. Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang di peroleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek pajak yang terutang
2. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu dan member bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
g. Apabila dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang dimita, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Hak wajib pajak :
1. Mengajukan surat keberatan dan surat banding
2. Menerima tanda bukti pemasukan SPT
3. Melakukan pembetulan SPT yang telah di masukkan
4. Mengajukan permohonan penundaan pemasukkan SPT
5. Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak
6. Mengajukan permohonan penghitungan pajak yang dikenakan dalam surat ketetapan pajak
7. Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak
8. Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta pembetulan surat ketetapan pajak yang salah
9. Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban pajaknya
10. Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak
11. Mengajukan keberatan dan banding.
Dari pemaparan teori di atas ternyata untuk realisasinya terhadap Wajib Pajak justru berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada, meskipun ada sebagian Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas yang ada tetapi ternyata masih ada juga wajib pajak yang tidak mengetahui hak dan kewajibannya, ketika mereka telah mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP ( Nomor Pokok Wajib Pajak ) ternyata mereka justru tidak mengetahui apa yang harus mereka perbuat dan apa saja yang menjadi hak serta kewajiban mereka, hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman Wajib Pajak akan hak dan kewajiban perpajakan yang selama ini telah dibuat.
Oleh sebab itu Wajib Pajak berharap agar Kantor Pelayanan Pajak lebih proaktif lagi untuk menginformasikan serta memberi pemahaman yang mendetil kepada Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak bisa mengerti dan memahami akan pentingnya membayar pajak. Selain itu pula yang diharapkan wajib pajak adalah adanya informasi yang jelas tentang penggunaan anggaran yang berasal dari pajak, karena Wajib Pajak ingin agar apa yang mereka setorkan itu benar – benar di gunakan untuk pembangunan di semua bidang.


B. Hambatan – Hambatan Yang dihadapi Oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak Dalam Rangka Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya.

Prof. Dr. Rochmat Soemitro, mendefinisikan bahwa pajak adalah iuran wajib kepada Negara berdasarkan Undang-Undang (dapat dipaksakan), yang langsung dapat di tunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan. Jika melihat definisi tersebut diatas maka sebenarnya bahwa yang berperan penting didalam pemenuhan kebutuhan pembangunan di Indonesia, adalah dari hasil pembayaran pajak yang dilakukan oleh masyarakat kepada Negara tetapi saat ini banyak sekali masyarakat yang merasa sangat terbebani dengan membayar pajak.
Dengan terbebaninya rakyat dalam membayar pajak tersebut ini menimbulkan reaksi atau tantangan yang secara langsung berdampak kepada Wajib Pajak itu sendiri antara lain:
1. Tingkat kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara umum masih sangat rendah, hal ini disebabkan karena masih awamnya Wajib Pajak dalam hal pengetahuan tentang Perpajakan itu sendiri sehingga menimbulkan ketidaktahuan Wajib Pajak akan arti penting pembayaran pajak yang mereka bayar.
Pada tabel 4.1 berikut ini merupakan jumlah Wajib Pajak Yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan).

Tabel 4.1
Data Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak
Tahun 2007 – 2009

No Tahun Wajib Pajak Terdaftar Wajib Pajak Yang Melaporkan SPT Persentase (%)
1 2007 29.789 8.430 28.29
2 2008 45.999 19.914 43.29
3 2009 96.023 17.494 18.21
Sumber : Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak 2010
Tabel 4.1 di atas sangat jelas terlihat bahwa persentase pelaporan SPT Tahunan mengalami penurunan, yaitu pada tahun 2008 adalah 43.29% terjadi kenaikan sebesar 15.00% dari 28.29%, sedangkan pada tahun 2009 selisih penurunan sangat signifikan yaitu 18.21% dari 43.29%, dari pelaporan SPT Tahunan tersebut untuk jumlah wajib pajak yang terdaftar mengalami peningkatan yang begitu besar setiap tahunnya.
2. Pada tahun 2008 Pemerintah membuat kebijakan Sunset Policy, kebijakan tersebut bertujuan menyadarkan masyarakat agar lebih taat lagi melaporkan kewajiban perpajakannya, tetapi setelah kebijakan tersebut dijalankan ternyata berhasil. banyak masyarakat yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, tetapi setelah memperoleh NPWP ternyata masyarakat yang telah menjadi Wajib Pajak tersebut tidak memahami hak dan kewajibannya sehingga meskipun jumlah Wajib Pajak bertambah tetapi yang melaporkan SPTnya menurun.
3. Wajib Pajak cenderung berpandangan lebih baik tidak bayar daripada bayar, keenganan membayar pajak tersebut diakibatkan masih banyaknya tahapan-tahapan dan proses yang mereka hadapi yaitu menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya (Self Assesment ) hal tersebut membuat wajib pajak menjadi enggan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya karena tahapan – tahapan dan proses – proses tersebut dinilai terlalu menyita waktu.
4. Keengganan Wajib Pajak untuk datang secara langsung ke kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak, hal tersebut di dasari karena mereka takut jika jumlah hartanya diketahui oleh Pihak Kantor Pelayanan Pajak yang secara dengan sendirinya jumlah pajak yang akan mereka bayar menjadi lebih besar, sehingga mereka lebih mempercayakan kepada pihak ke 2 dalam hal melaporkan kewajiban perpajakannya.
Dari paparan diatas terlihat jelas bahwa sebenarnya yang menjadi peranan penting dalam peningkatan jumlah penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi adalah adalah Kantor Pelayanan Pajak, Kebijakan – kebijakan yang telah di buat oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak ternyata mampu membuat Wajib Pajak tergugah sehingga mereka mau mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP ), tetapi dengan banyaknya masyarakat yang mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP tidak dibarengi dengan jumlah wajib pajak yang melaporkan Surat Pemberitahuannya ( SPT ), sehingga ini menjadi suatu pekerjaan rumah bagi Kantor Pelayanan Pajak Pontianak untuk lebih meningkatkan kualitas kerja.


C. Bagian-bagian yang terkait dalam meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Melaporkan SPT Tahunan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak.
Pelaksanaan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak untuk Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) juga melibatkan bagian-bagian dalam lingkungan Direktorat Jendral Pajak (DJP) terutama Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak. Adapun bagian – bagian yang berperan dalam upaya-upaya penigkatan kepatuhan Pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi antara lain:
1. Seksi Tata Usaha Perpajakan ( TUP)
Koordinasi dalam penyelesaian permohonan Pendaftaran Wajib Pajak proses dalam permohonan dan pencabutan NPWP.
2. Seksi Pengolahan Data dan Informasi ( PDI)
Pengumpulan data potensial perpajakan untuk dijadikan sebagai informasi perpajakan yang diperlukan oleh wajib pajak dalam Melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
3. Seksi Pajak Penghasilan Badan dan Perseorangan ( Orang pribadi ).
Verifikasi atas Surat Pemberitahuan Masa dan Tahunan Pajak Penghasilan Perorangan.



4. Seksi Penagihan
Pemantauan atas besarnya jumlah tunggakan pajak yang dimiliki oleh Wajib Pajak Orang Pribadi/Badan kemudian melakukan penagihan dengan surat paksa, dan penyitaan barang milik Wajib Pajak.
Dari hasil pengetahuan penulis dalam penelitian ini, bahwa bagian/seksi tersebut yang sangat berperan dalam upaya – upaya peningkatan kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) dengan masing-masing tugas yang telah di tentukan.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian – uraian mengenai Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT di Kota Pontianak di atas penulis membuat suatu kesimpulan sebagai berikut :
1. Kebijakan Internal Dan eksternal merupakan salah satu upaya guna peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya seperti pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT Tahunan ).
2. Kurangnya kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan sehingga tingkat pelaporan SPT Tahunan mengalami penurunan, tetapi jumlah Wajib Pajak yang mendaftarkan diri mengalami peningkatan setiap tahunnya.
3. Bagian yang sangat terkait dari Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT di Kota Pontianak, bagian/seksi tersebut terbagi 4 ( empat ) yang masing – masing mempunyai tugas sesuai dengan tugas pokok masing – masing.
4. Langkah – langkah tersebut di atas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi, sehingga di harapkan hasilnya dapat memuaskan dan berkontribusi kepada peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak serta lebih mudah menjadi pengawas dan penegakan hukum.
5. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak kepada Wajib Pajak yang menjadi penggerak utama dalam pembangunan.
B. SARAN
Berdasarkan uraian kesimpulan yang penulis kemukakan tentang Analisa Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Penyampaian SPT di Kota Pontianak, maka dalam hal ini penulis memberikan masukan yang sekiranya dapat membangun antara lain:
1. Kejelasan dan kefalidan informasi dalam setiap pelaporan Surat Pemberitahuan ( SPT ) ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak akan sangat membantu Pemerintah guna terselenggaranya pelayanan yang maksimal kepada Waji Pajak.
2. Kebijakan – kebijakan yang dibuat harus dapat menjadi motor penggerak dalam pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan ( SPT Tahunan ) sehingga dalam melaporkan SPTnya Wajib Pajak selalu sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
3. Dalam rangka pencapaian tujuan secara maksimal yaitu semakin tingginya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam Melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunannya ( SPT Tahunan ), maka tingkat kedisiplinan pegawai menjadi hal utama yang harus di benahi dengan menerapkan kedisiplinan dari Pimpinan sampai kepada Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama Pontianak, sekaligus menghilangkan efek negative dalam memenuhi kewajiban melaksanakan tugasnya.
4. Peningkatan pelayanan yang maksimal kepada Wajib Pajak
5. Peningkatan sosialisasi kepada masyarakat yang lebih gencar hingga sampai ke Kabupaten – Kabupaten.

Minggu, Juli 11, 2010

NGAMPAX COMUNITY: Ormas Kalbar tuntut Tifatul mundur

NGAMPAX COMUNITY: Ormas Kalbar tuntut Tifatul mundur

Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta

























Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta
10 Oktober 2009 jam 23:56
Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta

07 Agustus 2009

PONTIANAK, POS KUPANG. com -Aksi pemasangan spanduk raksasa berukuran 30x6 meter dan merantaikan diri ke
roda-roda eskavator yang dilakukan oleh aktivis lingkungan hidup Greenpeace
dan WALHI Kalbar, Kamis (6/8), diganjar hukum adat sebesar 75 Juta rupiah.
Sanksi uang sebanyak itu diberikan oleh masyarakat adat di Desa Mantan,
kecamatan Suhaid, Kapuas Hulu, setelah rombongan lembaga swadaya Masyarakat
(LSM) lingkungan tersebut memasuki areal PT. Kartika Prima Cipta (KPC)
tanpa izin. " kita sangat menghargai masyarakat dan hukum adat yang berlaku
disana. Kami belum akui itu salah kami. WALHI Kalbar dan Greenpeace berurusan
dengan PT. KPC serta sinar Mas Group bukan dengan masyarakat, "ungkap Deputi
WALHI Kalbar, Hendi Candra kepada Tribun Pontianak, Kamis.
Sebanyak 10 Aktivis WALHI Kalbar dan Greenpeace berangkat dari Sejiram pukul 03.00 wib
dan sampai di desa Mantan, Suhaid 05.00 wib setibanya dilokasi areal perkebunan
PT. KPC, mereka berbagi tugas, ada yang memasang spanduk dan empat aktivis
lainnya merantaikan dirinya ke roda-roda eskavator. Panjang rantai
rata-rata 1-2 meter dan dikunci menggunakan gembok.
Namun sekitar pukul 09.30 WIB, masyarakat berdatangan kelokasi tersebut dan
meminta secara paksa agar para aktivis lingkungan menghentikan aksinya.
Tidak mau terjadi benturan dengan masyarakat, akhirnya mereka menurut saja
dan dibawa kekantor Camat Suhaid.
Selama 7 jam, sejak pukul 10.00 - 17.00, mereka ditahan dan disidang secara
adat, termasuk 3 wartawan, yakni David Kongo (reporter dari Ruai TV), Ijam
(Majalah kalimantan review) dan Aceng Mukaram (Kontributor Radio 68 H).
"awalnya kami diberikan hukum adat sebesar 1,6 miliar. Namun kita tidak mau
beguitu saja menerima hukum tersebut. Setelah negosiasi, akhirnya menjadi 75
Juta Rupiah, ujar Aceng.
Uang denda adat itu , perinciannya untuk masyarakat adat Dayak Rp 48 juta
dan Melayu Rp 27 juta. Mereka dituduh telah melanggar adat kesopanan dan
salah basah (masuk tanpa izin). Juru kampanye hutan Greenpeace Asia
Tenggara, Joko Arif, mengatakan Sinar Mas Group memiliki sembilan anak
perusahaan yang memiliki areal konsesi perkebunan di sekitar Taman Nasional
Danau Sentarum (TNDS).
TNDS merupakan hulu dari sungai Kapuas, sehingga memiliki arti penting bagi
masyarakt kalbar4. sementara itu, General Manager (GM) PT. Sinar Mas wilayah
Kalimantan Barat, Bernard Ho, mengatakan, pihaknya sama sekali tidak pernah di minta
izin oleh Greenpeace sebelum masuk dan melakukan aksinya. Mereka hanya
katakan mau sosialisasi dan foto-foto di areal perkebunan.

Fantastis
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Thedeus YTUs, mengatakan, hukuman
"salah basah" merupakan hukuman bagi orang yang masuk kampung tanpa izin,
dan penerapannya tidak begitu saja. Denda yang mencapai 75 juta untuk dua
kesalahaan, adat kesantunan dan salah basa. Sangat fantastis. Perbuatan
seperti itu tidak lazim dan jangan jadikan adat sebagai alat. Denda sebesar
itu diluar batas kewajaran.
"Kita tidak menginginkan adat dijadikan alat. Sebagai pribadi, saya minta
itu ditinjau ulang. Penerpan adat yang sangat keliru, jangan orang tidak
berwenang mengeluarkan hukumnya, " jelas Thadeus Yus yang dikonfirmasi,
kamis malam.
Sekretaris majelis Adat Budaya Melayu (MABM) kalbar, Sulfyadar Zaidar
Mochtar, mengatakan, penerapan hukum adat mesti seiring sejalan dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia, tidak bisa bertolak belakang. Tidak
semaunya saja hukum adat diberlakukan, jika ada terjadi pelanggaran. Tidak
tepat diterapkan ke Greenpeace, mesti dilihat apa yang mereka langgar.
"Apakah ditempat ijin perkebunan Sinar Mas tersebut diberlakukanb tanah
hukum adat? Kalau itu berlaku,Sinar Mas tidak berada di tempat itu. Kalau
tidak, tak pantas Greenpeace dan WALHI memperoleh hukum adat," katanya
dengan tegas. (Tribun Pontianak (www.tribunpontianak.co.id) / Fakhrurrodzi)

Jumat, Juli 09, 2010


















Tentang: Cerita Rakyat
MEMBAYANGKAN DAYAK KANAYATN
Diposkan oleh Yohanes Supriyadi 0 komentar

Oleh Yohanes Supriyadi

Di Kalimantan Barat, Dayak Kanayatn sudah sangat terkenal, baik maupun buruk. Baiknya, kelompok suku ini dikenal sebagai adaftor yang ulung termasuk negosiator dan tidak baik, suku ini dikenal sebagai aggressor bagi suku-suku bangsa lainnya. Disebut adaftor, karena suku ini tinggal disebuah kawasan “bumper”, kawasan pembatas antara pesisir yang dikenal sebagai teritori Melayu-Islam dan kawasan pedalaman yang dikenal sebagai teritori Dayak-Kristen. Sedangkan di sebut aggressor, karena suku ini termasuk suku “pengembara”, yang menjelajah diseluruh bagian provinsi ini. Selain itu, dari sejarah konflik antar etnik di Kalbar, kelompok suku ini terlibat secara dominan dan langsung.

Berbeda dengan saudara-saudaranya di kawasan timur-barat, tidak ada cirri khas kebudayaan yang amat menonjol dari suku ini. Dalam batas tertentu, peradaban suku ini tergolong rendah dibandingkan dengan suku-suku Dayak lainnya. Yang paling menonjol, misalnya; dari persenjataan perang, suku ini tidak mengenal Mandau, mereka menggunakan “tangkitn”, yang tidak menggunakan sarung. Memakainya cukup di tenteng dengan cara di panggung. Tangkitn ini tidak ada hulu, hanya dililit dengan kain merah dan putih, yang dikenal sebagai tangkulas. Suku ini juga tidak mengenal perisai atau gunapm sebagai pasangan dari Mandau, sebagaimana suku Dayak lainnya. Factor kesamaan hanya terlihat pada rumah tinggal, menurut informan saya, nenek moyang mereka memang pernah tinggal dirumah panjang, yang dikenal sebagai rentetn.
Menurut beberapa sumber, kelompok suku ini merupakan bagian terbesar dari seluruh kelompok etnik Dayak di Kalimantan, dengan menyumbang sekitar 600.000 jiwa, yang tersebar di berbagai kabupaten/kota. Informan saya menyebutkan angka ini relative pasti, karena faktanya ada dua kabupaten di Kalimantan Barat yang hamper 90% penduduknya di kategorikan sebagai Dayak Kanayatn, yakni Kabupaten Bengkayang dan Kabupaten Landak. Kedua kabupaten ini, sebelum pemekaran tahun 1999 merupakan bagian dari Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak.


Merekonstruksi Identitas Dayak Kanayatn

Upaya merekonstruksi identitas bukanlah perkara yang mudah. Namun, dalam kerangka pengkajian sejarah asal usul suatu bangsa, yang dalam perkembangannya seringkali salah kaprah, dan penuh dialektika, penelusuran amat kita diperlukan. Pada bagian pertama, saya sudah menulis tentang pasang surut identitas pada Orang Dayak secara umum di Kalbar.
Pada bagian ini, saya akan mencoba merekonstruksi identitas Orang Dayak sub-Kanayatn yang sangat kesohor di Kalbar. Sebagaimana identitas Dayak yang pernah mengalami pasang surutnya di Kalbar, pada orang Dayak Kanayatn, justru identitas mereka tidak jelas. Beberapa klaim terjadi antara orang-orang Dayak yang berbahasa Bakati, Banyadu’ yang kini mendiami wilayah Kabupaten Bengkayang dengan orang-orang Dayak yang berbahasa Baahe, Bajanya, Banana’, Badamea, ataupun yang berbahasa Bajare yang kini mendiami beberapa wilayah di Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, sebagian Kabupaten Bengkayang, sebagian Kota Singkawang dan sebagian Kabupaten Sambas. Saling klaim ini menunjukan bahwa ada sesuatu yang keliru dalam menafsirkan identitas mereka oleh orang luar dan teranjur tersosialisasi sejak lama.
Dari berbagai catatan para pelancong Eropa, dikatakan bahwa ketika pertama kali dating di Kalimantan, mereka telah menemukan cukup banyak orang Dayak yang tinggal dikaki-kaki gunung dan hutan belantara. Petualangan Earld, seorang Nahkoda Kapal Stamford Inggris yang berlayar dari Singapura untuk melakukan transaksi dagang dengan Kesultanan Sambas pada tahun 1834 di sepanjang pantai Sambas membuktikan pendapat itu. Earld, misalnya pernah bertemu dengan beberapa orang Dayak yang menggunakan perahu kecil yang terbuat dari kayu bulat dalam perjalanannya mencari sebuah lokasi koloni Cina di Singkawang.
Saya menduga, bahwa orang Dayak yang dimaksud Earld itu adalah orang Dayak Kanayatn. Dugaan ini mungkin sesuai dengan hasil penelitian seorang antropolog Dayak Salako, Simon Takdir, (2003). Dikemukakannya bahwa Orang Dayak Kanayatn dulunya tinggal dan menetap di kawasan pesisir pantai, tak jauh dari bukit Senujuh, kawasan sungai sambas. Oleh Dunselman (dalam Cence and Uhlenbeck, 1958;15) orang-orang yang ini disebutnya sebagai ‘Old Kendayan’ atau Kendayan Tua.
Jika kita merujuk pada temuan mirasi bangsa Austronesia menurut Kern dan Von Heine (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia demikian juga Suku Dayak termasuk keturunan bangsa Austronesia ini . Dan sangat mungkin, maka orang-orang Dayak sebagaimana ditemui Earld di sepanjang sungai Selakau dan sungai Sambas pada waktu itu, termasuk keturunan bangsa ini (lihat Simon Takdir;2003).
Menurut Collins (1989) yang meringkaskan pendapat Bellwood (1985), sekurang-kurangnya 7.000 tahun lalu, perintis Austronesia dari daratan Cina (mungkin Zheijang dan Fujian) mendiami Pulau Taiwan dan tinggal disitu sekitar seribu tahun. Dari Taiwan, mereka bermigrasi lagi kea rah selatan melalui Filipina kearah barat Borneo.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui Semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat bagian utara ada yang memasuki muara –muara sungai besar yang menjorok ke perhuluan/perbukitan (mungkin saja sungai Sambas atau sungai Selakau). Beberapa kelompok kecil sempat menetap dikawasan ini dan berbaur dengan penduduk yang sudah ada sebelumnya (Takdir;2003;6). Oleh Wonojwasito, (1957) penduduk asli ini di sebutnya sebagai bangsa Weddoide dan Negrito.
Wonojwasito menjelaskan bahwa kelompok Weddoide dan Negrito telah mendiami kepulauan Borneo sejak zaman prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum, kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian alat dari logam. Namun begitu, penduduk lama ini telah lenyap sama sekali di Kalimantan (Loebis, 1972).
Dari teori Collins, Stanley, Simon dan Wonojwasito diatas, saya menduga ada terjadi perkawinan silang antara kelompok Weddoide dan Negrito dengan kelompok migrant yang baru tiba dari Taiwan ini. Hasil perkawinan silang ini, kemudian dikenal sebagai bangsa Austronesia, yang bercirikan mata terlihat sipit, agak pendek, kulit kuning langsat, dan sangat terampil memainkan pedang (Takdir;2003).
Kita juga dapat melihat cukup banyak sisa warisan budaya bangsa Weddoide yang masih bertahan dan dapat dilihat pada bangsa Austronesia (termasuk Dayak Kanayatn) ini, antara lain adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada jubata (dewa). Prosesi menjadikan hewan anjing sebagai bentuk persembahan ini, dengan mudah kita lihat pada ritual adat perang pada orang Dayak Kanayatn sekarang ini. Binatang ini menjadi hewan buruan, mungkin karena mudah ditangkap bangsa Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Merujuk kamus bahasa sanskerta/kawi, istilah ‘Kanayatn’ berasal dari kata kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai (Prawiroadmojo, 1981). Menurut informan saya, mungkin saja ketika melakukan perjalanan, para pelancong, peneliti dari Eropa, Cina ataupun penulis Hindu telah menemukan sebuah komunitas manusia disepanjang aliran sungai Selakau dan sungai Sambas menetap dan membentuk pemukiman yang berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayatn berada disebelah utara sungai selakau, atau disebelah utara jalan raya, atau di sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia (lihat Simon;2003)
Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain dari warisan budaya nenek moyang bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“Praktek pembakaran jenazah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India”

Bagi orang Dayak Kanayatn, lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan. Walaupun sekarang ini jenasah tidak dikremasi lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburatn. Bukti patunuan ini masih ditemukan di hutan Lago’, Menjalin, Kalbar. Prosesi pemakaman ini, tentu saja mirip dengan budaya Hindu, sebuah agama besar di Nusantara yang masuk pada pertengahan abad 4 SM sampai awal kedatangan Islam pada abad 16 SM sebagaimana ditulis oleh Ahmad dan Zaini (1989).
Ahmad dan Zaini menemukan bahwa di sekitar kawasan bukit Sarinakng, Selakau sekarang ini, pernah ditemukan sebuah kerajaan Hindu yang berdiri tahun 1291, dengan rajanya yang bergelar Ratu Sepudak. Namun, kerajaan ini menjadi hilang, ketika Islam masuk ke Sambas dan mendirikan Kerajaan Islam Sambas. Rakyat dari kerajaan Hindu ini, yang tidak mau masuk Islam kemudian bermigrasi ke hulu melalui sungai Selakau, dan kemungkinan mendirikan pemukiman dan menetap dikawasan itu.
Pada bulan September 2008 lalu, saya berkunjung ke Selakau. Tepat ditep jembatan, pasar selakau, terdapat plang nama yang tertulis;”Selakau, 6 Km”. Dengan beberapa teman, saya berinisiatif menyusuri sungai Selakau, yang disebut-sebut sebagai salah satu jalan migrasi antar bangsa masa itu. Tak jauh dari sungai Selakau, menjulang tinggi sebuah bukit yang bernama bukit sarinakng (bhs.Melayu; bukit selindung).
Menurut informan saya, pada waktu itu dibukit Sarinakng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinakng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai. Sarinakng ini selanjutnya disebut Salako Tuha (Selakau Tua) dan baru disebut Salako Muda’ (Selakau Muda) atau pasar Selakau sekarang ini. Kenapa di sebut Salako ?
Menurut informan saya, nama Salako itu berasal dari Salak Ako. Ako di sana dikenal sebagai nama salah satu jenis anjing hutan. Orang-orang diperkampungan, menurut informan ini sering mendengar salak anjing Ako, siang maupun malam. Karena anjing Ako ini mengganggu, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Berbeda dengan leluhurnya bangsa Weddoide, Orang-orang ini tidak mau makan daging anjing. Bagi mereka, anjing adalah binatang sial. Alam supranatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan anjing sebab badannya sudah kotor. Karena itu keturunan dari orang-orang ini, yang kemudian dikenal sebagai Dayak Kanayatn ‘amali’’ (dilarang) memakan daging anjing. Orang Kanayatn yang memakan daging anjing sekarang ini telah mereka kontak dengan suku-suku Indonesia lainnya.
Ketika saya berkunjung disalah satu kampong dikawasan Salak Ako, saya menemukan sebuah kampong lama, namanya kampong Baron. Kampong ini hanya dihuni sekitar 14 keluarga Dayak, yang telah menikah dengan orang-orang Cina, bekas penambang emas di Buduk. Beberapa peninggalan yang menjadi cirri khas Dayak Kanayatn seperti timawakng, kompokng, padagi, patunuan dan sebagainya masih ada. Saya juga masih menemukan disekitar kampong ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu yang sudah tidak terurus, pecah-pecahan keramik yang tersebar dilokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat lainnya. Menurut informan saya, di lokasi bukit Sarinakng ini pernah ditemukan sebuah Nekara pada bulan Mei 1991, yang kini di simpan di Museum Negeri Pontianak.

(peta Kecamatan Selakau)

Migran Dari Sarinakng

Dalam menelusuri identitas ini, kita dapat merujuk pada beberapa teori. Misalnya Nothofer dalam Sari 14 (1996;34) sebagaimana dikutif Aloy (2008;12). Menurut Nothofer, tanah asal usul suatu keluarga dapat dibaca dari keragaman bahasa dan isolek yang mengurainya. Hipotesisnya adalah bahwa makin lama suatu daerah didiami oleh penutur isolek-isolek yang berasal dari suatu bahasa purba makin tinggi tingkat keragaman isoleknya. Sebaliknya, kalau penutur suatu isolek yang timbul beberapa abad sesusah terpisahnya suatu bahasa pura yang meninggalkan tanah asal usulnya untuk mendiami daerah yang baru, maka waktu ntuk timbulnya isolek yang beranekaragam ditempat yang baru itu sangat berkurang. Selanjutnya ia menyimpulkan bahwa dengan menganalisis keragaman bahasa, kita dapat menelusurinya dari asal usul penutur (manusia) yang mewarisi, membawa dan menyebarkan bahasa tersebut. (Aloy;2008;13).
Penyebaran manusia purba dapat ditelusuri melalui aliran sungai. Hal ini dimungkinkan, karena jaman dahulu, transportasi utama masyarakat adalah sungai. Earld, pedagang dari Singapura yang berkunjung pada sebuah koloni Cina di pantai barat Borneo tahun 1834 mengatakan, untuk masuk kepedalaman, mereka harus melalui sungai yang membentang luas dan dalam. Sungai-sungai tersebut bercabang-cabang (J.B.Wolters;1918;3).

(peta aliran sungai Sambas dan sungai Selakau)

Dengan aliran sungai yang berhulu di bukit Bawakng dan bukit-bukit kecil lainnya, saya menduga bahwa migrasi orang-orang dari Sarinakng kemungkinan dilakukan secara berkelompok dan bergelombang. Alasan migrasi, umumnya karena arus migrasi yang massif dari orang-orang yang tidak mereka kenal yang mengancam keamanan dan penghidupan religi serta bercocok tanam (Supriyadi;2005;69).
Paling tidak ada lima kelompok kecil. Kelompok pertama menyusuri sungai Sebangkau dan menetap di Paranyo (bhs. Melayu; pelanjau), sebagian kecil meneruskan perjalanan hingga dimuara sungai, Pemangkat. Kelompok kedua melakukan perjalanan dengan menyusuri sungai Bantanan, dan menetap di Tabing Daya (17 Km dari Sekura sekarang), kemudian menyebar lagi di Kuta Lama (dekat pasar Galing sekarang). Dari Kuta Lama, ada dua kelompok kecil yang memisahkan diri lagi dengan menyusuri Sungai Enau dan menetap di Jaranang (desa Sungai Enau sekarang). Sebuah kelompok lagi terus menyusuri sungai ke hulu dna menetap di Bapantang Batu Itapm (Batu Itapm sekarang). Di Batu Itapm inilah mereka lama menetap bahkan sampai sekarang. Generasi dari Batu Itapm ini kemudian menyebar sampai kedaerah distrik Lundu Malaysia. Di Malaysia sekarang mereka menempati 24 kampung dengan populasi 9.558 jiwa, antara lain kampong Rukapm, Biawak, Paon, dan lain-lain.
Penulis juga memiliki keyakinan bahwa generasi yang bertahan di Sarinakng, Tabing Daya dan Kuta Lama telah memeluk agama Islam dan menyebut dirinya Melayu. Keyakinan penulis ini berasal dari temuan bahwa sejumlah informan tua (70an tahun) didaerah ini walaupun sudah beragama Islam tetap menyebut bahwa kakek dan nenek mereka dulu adalah orang Darat (Dayak red), bahkan ada yang mengatakan Ayah dan Ibu mereka adalah orang Darat (Dayak red).
Kelompok lain yang bermigrasi dengan menyusuri hulu sungai selakau melalui sungai sangokng dan menetap dibeberapa kampong yang terebar di kawasan Kota Singkawang sekarang ini. Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawakng Abo’ dan pindah ke Puaje (jembatan dekat simpang Monterado). Mereka ini kemudian mengembangkan bahasa yang dikenal sebagai bahasa ba damea/ba dameo.
Dari Sarinakng, sekelompok besar menyusuri hulu sungai selakau hingga di daerah Lao, daerah Serukam sekarang ini. Dari Lao, sekelompok kecil lagi bermigrasi ke daerah Sawak dan Gajekng serta Pakana dan sekitarnya. Mereka inilah yang kemudian mengembangan orang Dayak yang berbahasa Baahe dan Banana’.
Sebagaimana di tempat asalnya, Sarinakng, Tabing Daya, Batu Itapm, Kuta Lama, Jaranang, yang telah memeluk Islam, orang-orang di Pakana ini juga telah memeluk Islam. Penelitian Owat (2005) di Pakana, menyatakan bahwa pada masa lalu, Pakana merupakan pusat penyebaran Islam ditanah Dayak. Bukti-bukti ada infiltrasi Islam ditempat ini masih nyata. Dari Pakana, orang-orang yang tidak mau memeluk Islam bermigrasi lagi, menyusuri Sungai Mempawah hingga ke Karangan, Menjalin, Takong, Toho dan Sangkikng.
Berdasarkan peta migrasi diatas, di tinjau dari bahasa yang dikembangkannya, ada tujuh kelompok sub suku Dayak di daerah ini: (1) Baahe logat Karimawatn Sakayu (Dayak Mampawah), (2) Baahe logat Sangah (Dayak Bukit), (3) Bajare (Dayak Gado), (4) Banana’, Banyadu’(Dayak Banyuke), (5) Balangin, Bampape (Dayak Landak), (6) Badamea/Badameo (Dayak Salako) dan (7) Bakati (Dayak Rara dan Dayak Bakati;) (lihat Atok;2008;8)
Dalam analisisnya, Atok menjelaskan bahwa (1 dan 2) bisa berkomunikasi dengan baik karena 90% perbendaharaan bahasanya relative sama, walaupun ada perbedaan fonemiknya (bunyi bahasanya). (1 dan 3) bisa berkomunikasi dengan mencampur bahasa masing-masing tapi saling mengerti apa yang dimaksud. (1,2, dan 4) sebagian besar bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Baahe kedua logat yang ada. (5 dan 6) bisa berkomunikasi karena masih cukup banyak perbendaharaan kata yang sama dan umumnya komunikasi dengan lancar dengan bahasa Badameo. Sedangkan (1,2,3,4,5,6, dan 7) bisa berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa campuran Baahe – Badameo -Bajare.
Kondisi inilah yang menurut Atok dapat menjelaskan bahwa rumpun subsuku ini berasal dari moyang yang sama, bangsa Austronesia di daerah Sarinakng. Saat ini mereka mengidentifikasi diri kedalam 3 kelompok yaitu Dayak Kanayatn (1-5), Dayak Salako (6) dan (7) Dayak Banyadu’/Bakati’. Untuk mempertegas kelompok ini dapat dilihat dari penyelenggaraan adat pesta padi, orang Kanayatn dan orang Salako menyelenggarakan Naik Dango sedangkan orang Bakati’/Banyadu’ menyelenggarakan Maka’dio. Kedua acara adat ini sesungguhnya memiliki prosesi, makna dan nilai-nilai religius yang sama. Penyebutan yang banyak ini menurut penulis karena pada masa lalu komunikasi belum berjalan baik.

Siapakah Dayak Kanayatn ?
Timbul pertanyaan, siapakah Dayak Kanayatn itu ? Istilah ‘Kanayatn’ dikalangan suku Dayak yang berbahasa Bakati’/Banyadu’, Bajare, Banana’, Baahe, Badamea/Badameo masih diperdebatkan hingga hari ini. Bagi orang Bakati’, istilah Kanayatn ini berasal dari nama salah satu jenis rotan untuk menjemur pakaian serta nama sebuah sungai di wilayah Ledo sekarang ini. Sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Badamea, Bajare, istilah Kanayatn diperoleh dari kata Nganayatn (persembahan kepada Jubata karena pekerjaan telah selesai).
Jika kita melihat dua versi istilah ini, maka pada orang Bakati, istilah tersebut merujuk pada nama tempat, sedangkan pada orang Banana’, Baahe, Bajare, Badamea merujuk pada budaya khususnya religi dan sastra lisan. Namun, dalam sastra lisannya, semua suku, baik Bakati’/Banyadu’ maupun Banana’, Baahe, Bajare, Bampape dan Badamea masih mengarahkan tempat persembahan kepada Jubata di sebuah tempat bernama Bukit Bawakng, Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang sekarang ini. Saya pernah dua kali berkunjung di salah satu kampong dikawasan lembah bawang ini, yakni kampong Jaruk Param. Di kawasan ini, semua penduduk berbahasa Bakati’.
Jadi, wajar saja kalau klaim atas identitas Kanayatn tetap terjadi, sepanjang belum ada rekonsiliasi diantara penutur bahasa-bahasa tersebut. Kesulitan menganalisis klaim identitas ini, dikarenakan tidak adanya referensi ilmiah ataupun laporan perjalanan yang ditulis para pelancong, misionaris ataupun aparatur pemerintah colonial ketika itu. Beberapa laporan yang ada, tidak ada yang secara tegas menunjukan istilah “Dayak Kanayatn”.
Istilah Dayak Kanayatn secara jelas hanya tergambar dari tulisan Pastor Donatus Dunselman OFM.Cap tahun 1949 dengan judul “Bijdrage Tot De Kennis Van Detaal En Adat Der Kendajan-Dajaks van West Kalimantan“. Menarik bahwa dikemudian hari, hasil penelitian Dunselman ini diadobsi secara menyeluruh oleh kalangan elit politik Dayak yang mengidentifikasikan dan mengunifikasikan dirinya sebagai “Kanayatn“ pada tahun 1980-an. Secara sistematis, sosialisasi identitas “politik” ini mewarnai sejarah Kalbar dengan actor utama para politisi, akademisi dan praktisi LSM.
Ada dua periode kemunculan identitas ini, yang memiliki argumentasi tersendiri. Periode pertama di wakili oleh adopsi dari hasil penelitian Pastor Donatus Dunselman diatas. Periode ini berjalan kira-kira sejak tahun 1980-an hingga tahun 2000. Periode lainnya adalah sebuah periode kritikal identitas yang ditandai dengan upaya untuk mengembalikan identitas Dayak Kanayatn kepada mereka yang paling berhak, yakni Dayak yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.
Periode pertama, saya sebut periode politik identitas. Sebagaimana disebutkan diatas, tulisan Pastor Donatus mungkin dengan cepat menyebar dikalangan misionaris Katolik diberbagai kawasan. Sosialisasi identitas baru ini menjadi lebih tersalurkan dengan dukungan dari petugas-petugas paroki, yang setiap minggu berkunjung ke kampong-kampung Dayak. Hasilnya, identifikasi sebagai Dayak Kanayatn muncul dikalangan Dayak yang sebelumnya belum begitu mengenal identitas ini.
Identitas baru ini kemudian dibaca sebagai sebuah kekuatan yang hebat dalam hal populasi. Ini penting untuk proyeksi kekuatan politik. Dalam politik, besaran populasi dan persatuan para elit Dayak di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak ketika itu menjadi sangat penting sebagai bagian dari strategi politik yang dikembangkan pemerintah Indonesia untuk mengkooptasi dan sekaligus merangkul kekuatan politik Dayak.
Pada bagian pertama buku ini, saya juga menjelaskan mengenai sejarah perpolitikan di Kalbar yang berubah ketika perubahan rezim, dari Orde Lama ke Orde Baru, awal tahun 1970-an. Perubahan rezim ini disatu sisi mengecilkan peran politik Orang Dayak, namun disisi lain mempererat persatuan mereka dengan strategi baru.
Ditopang oleh kaburnya literatur yang menjelaskan secara detail periode ini, dalam perspektif politik identitas yang terjadi pada Dayak Kanayatn, saya mengamati sebuah organisasi yang mengatasnamakan Dayak Kanayatn, dibentuk pada tanggal 23 Maret 1985 yang bernama Dewan Adat Dayak Kanayatn.
Walaupun masih terdapat simpang siur disana-sini tentang sejarah pembentukan organisasi ini, saya kemudian mengkaitkannya secara positif dengan kepiawaian para tokoh politik orang “Dayak”, memanfaatkan politik pada era Orde Baru.
Menurut statistic tahun 1980, populasi orang-orang Dayak yang berbahasa ba ahe, ba nana’, ba inyam, ba nyadu’, ba kati’, ba dameo, ba langin cukup besar. Mereka hamper menguasai 20% dari seluruh populasi Dayak di Kalbar, dengan penyebaran yang dominan di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak. Karena itu, kelompok etnik ini merupakan pemilih potensial untuk memenangkan Golkar, sebuah partai pendukung pemerintah.
Bubarnya Partai Persatuan Dayak (PD) pada tahun 1960, memaksa serangkaian perpecahan dikalangan internal politisi Dayak Kalbar. Mempersiapkan diri menyongsong Pemilu 1971, bekas pengurus PD memisahkan diri. Kelompok pertama menyatakan bergabung di Partindo. Kelompok ini dimotori oleh J.C. Oevaang Oeray, Gubernur Kalbar. Beberapa aktivis politik lainnya menyatakan bergabung di Partai Katolik, kelompok ini dipimpin oleh F.C. Palaoensoeka, anggota DPR RI. Namun perpecahan ini menjadi kentara ketika, perubahan politik nasional berlangsung sedemikian cepat.
Di masa pemerintahan Golkar, pemenang Pemilu 1971, partai-partai politik berupaya di sederhanakan. Partai Katolik dan beberapa partai nasionalis lainnya berfusi menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan beberapa partai Islam berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sebagai partai pemerintah, Golkar mengkonsolidasikan tiga elemen penting; ABRI, Birokrat dan Golkar sendiri, atau dikenal dengan istilah ABG.
Membaca kencendrungan politik kelompok etnis Dayak yang beragam di Kalbar, ada enam kelompok sub-etnik Dayak yang menarik perhatian Golkar. Dengan beragam cara, elit Golkar meminta para elit-elit Dayak agar bergabung ke dalam Golkar untuk ‘mewakili’ masyarakat Dayak. Beberapa ‘Dayak Golkar’ ini diberikan tempat dalam berbagai upacara-upacara kenegaraan, dan daerah. Beberapa diantaranya menduduki posisi dalam bidang pemerintahan, namun tidak ada lebih dari pada pemerintah kecamatan.
Bagi rezim yang memerintah, tentu saja elit-elit Dayak ini berfungsi untuk mengamankan suara Golkar dalam pemilu yang telah diatur. Mengingat kemenangan Golkar telah ditetapkan sebelumnya, jumlah perbedaan suaranya dapat dipertanyakan. Pada pemilu 1977, J.C. Oevaang Oeray berkampanye untuk Golkar. Kemudian, Oeray diberikan jabatan anggota DPR RI di Jakarta. Pada pemilu 1977, Oeray dan Aloysius Aloi ditunjuk sebagai anggota DPR; G.P Djaoeng dan Moses Nyawath duduk di DPRD I; Rahmad Sahudin di Kabupaten Pontianak. dan Willem Amat duduk di DPRD II Sangga.
Kemenangan Golkar di kelompok pemilih Dayak memunculkan keinginan kuat untuk melembagakan orang-orang Dayak untuk bergabung di Golkar, sebagaimana kebiasaan Golkar yang membentuk organisasi-organisasi sayap partai. Di dorong keberhasilan mobilisasi Dayak dengan menggunakan “adat” sebagai bumper pemersatu pada peristiwa demonstrasi Cina tahun 1967 diseluruh wilayah Kabupaten Pontianak, adat dibidik Golkar sebagai prioritas. Lembaga-lembaga adat yang tersebar di level kewilayahan local berusaha di strukturisasi.
Keinginan ini ditangkap dengan cerdas oleh seorang Temenggung di Pahauman, Kabupaten Pontianak. Harapannya, para politisi Dayak dari Golkar menggunakan istilah 'Kanayatn atau 'Kendayan' untuk mengumpulkan suara orang Banana'-Ahe dan varian sejenisnya yang mayoritas, khususnya di Kabupaten Pontianak kala itu.
Tangan dingin F. Bahaudin Kay, Temenggung Binua Temila Ilir I Pahauman mewujudkan ambisi itu. Kay dengan cekatan melaksanakan musyawarah adat se-Kecamatan Sengah Temila pada tanggal 23-24 Mei 1978 di Gedung Serba Guna Pahauman. Meski sebagian biaya musyawarah ini didukung Golkar, menurut Kay, biaya musyawarah tersebut juga ditanggung oleh masyarakat adat yang dimobilisasi oleh pengurus adat disetiap tingkatan, mulai dari Timanggong, Pasirah dan Paraga. Oleh Kay, seluruh kepala keluarga diwajibkan mengumpulkan sumbangan satu kaleng beras dan satu kaleng beras ketan serta uang Rp.100,-.
Awalnya, musyawarah dibungkus dengan upaya menyeragamkan hukum adat (unifikasi) dan mencatat / membukukan (kondefikasi) hukum adat di Kecamatan Sengah Temila, namun sesi akhir dari musyawarah itu memutuskan untuk membentuk wadah adat ditingkat kecamatan yang diberi nama Badan Koordinator Adat (BKA) Kecamatan Sengah Temila. Sebagai organisasi adat, simbol/ lambang adat juga ditetapkan. Simbol tersebut terdiri dari gantang dan pamipis dalam lingkaran segi lima dan dasarnya terdiri dari sebuah balok yang bertulisan motto adat “ADIL KA ‘ TALINO BACURAMIN KA’ SARUGA BASENGAT KA’ JUBATA ”. Musyawarah juga menetapkan F. Bahaudin Kay sebagai koordinator BKA yang baru saja terbentuk untuk masa bhakti 1979-1983.
Sukses pelaksanaan MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila di Pahauman, beberapa tahun kemudian, Kay dan teman-temannya menginisiasi pelaksanaan MUSDAT di level kabupaten. Ini bersamaan dengan pindahnya Kay di Mempawah sebagai salah sebagai Kepala Unit Produksi (KUP) Asuransi Jiwasraya Mempawah. Di Mempawah, dengan tekad dan kemauan yang kuat, Kay yang terpilih sebagai salah satu pengurus GOLKAR di Kabupaten Pontianak menginisiasi pembentukan panitia MUSDAT level kabupaten. Melalui rapat, Kay terpilih sebagai ketua dengan sekretaris Thomas Mekan. SH. Rapat-rapat kegiatan panitia di kantor lurah Anjungan.
MUSDAT I ini berhasil terlaksana pada tanggal 23-25 Maret 1985, bertempat digedung SMP Negeri I Anjungan. MUSDAT dibuka oleh Bupati Kabupaten Pontianak, Drs. H. Muchali Taufik, dihadiri oleh para tokoh dan pemuka masyarakat adat, serta utusan /peserta dari 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak. Musyawarah ini di rekam oleh Drs.Tarsisius Uryang selaku notulis.
Selama MUSDAT I, banyak peserta yang pro dan kontra atas istilah Dayak Kanayatn, untuk menyebut diri mereka. Seorang bekas peserta mengatakan kepada saya, bahwa ia tidak setuju ada pengelompokan suku Dayak. Menurutnya, Dayak akan kuat bila identitasnya sebagai Dayak yang satu tetap dipertahankan. Namun argumen itu tidak sama sekali muncul dimusyawarah, karena dilihatnya semua peserta orang-orang Golkar, yang ia kenal. Ia sendiri berterus-terang simpatisan sebuah partai non Golkar, yakni PDI.
Sebagaimana tradisinya, hasil pada sesi akhir dapat kita tebak. Secara aklamasi peserta mengesahkan hasil MUSDAT, antara lain; mengesahkan pembentukan wadah adat ditingkat kabupaten yang diberi nama “DEWAN ADAT DAYAK KANAYATN KABUPATEN PONTIANAK”, menetapkan pengurus Dewan Adat Dayak Kanayatn Kabupaten Pontianak masa Bhakti 1985-1990 dengan ketua umum F. Bahaudin Kay dan sekretaris umum adalah Thomas Mekan SH, sedangkan R.A. Racmad Sahudin Bsc dan Drs. M. Ikot Rinding masing – masing sebagai ketua dan sekretaris penasehat.
Dari informan saya, DAD dilengkapi pula dengan seksi – seksi. Menurutnya, yang sangat strategi adalah bahwa DAD ini berkedudukan di Mempawah ibu kota Kabupaten Pontianak. Yang unik, hampir seluruh keputusan MUSDAT level kabupaten ini, mengadopsi hasil MUSDAT se-Kecamatan Sengah Temila pada tahun 1983 lalu. Menurut penulis, ini bagian tak terpisahkan dari strategi politik Kay yang sangat ahli dalam berorganisasi. Sebagai Ketua Umum DADK Kabupaten, Kay juga mampu melakukan strategi ini dengan baik. Buktinya, hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 6 (enam) bulan setelah selesai MUSDAT ini, ia berhasil membentuk Dewan Adat Dayak Kanayatn di 10 kecamatan dalam Kabupaten Pontianak.
Ketika seluruh kecamatan sudah memiliki DAD Kecamatan, pengurus DAD Kabupaten Pontianak segera melakukan konsolidasi. Kepada saya, Kay menceritakan, pada rapat yang diadakan di rumah Y. Jampari Lacon di Anjungan pada tanggal 12 Juni 1985, pengurus DADK menuangkan bahwa program pertama yang diselenggarakan adalah mengadopsi upacara adat naik dango yang sebelumnya hanya diadakan ditingkat kampong setelah panen padi usai, menjadi naik dango level kabupaten. Selanjutnya Kay menulis;

”untuk menjaga agar organisasi itu tetap eksis, biasanya harus ada kegiatan – kegiatan dan pertemuan – pertemuan periodik yang dilaksanakan oleh pengurus organisasi, ibarat bunga yang sering disiram supaya tidak layu dan tetap segar” (Kay;2005;7)

Kay tidak ingin organisasi besar yang dipimpinnya tanpa kegiatan. Ia berkeinginan agar masyarakat Dayak tahu, bahwa mereka ini Kanayatn. Bahwa mereka ini telah punya wadah persatuan, yakni DAD. Gaung ini secara jelas ditulis Kay;

“Naik Dango ini merupakan kegiatan rutinitas agar wadah ini tetap eksis tidak statis dan mandek senantiasa mempunyai kegiatan dan dapat memberikan gaung bagi dewan adat agar dikenal baik diluar maupun diluar masyarakat kanayatn” (Kay;2005;11).

Inilah organisasi Dayak pertama pada era Orde Baru dan secara resmi Kanayatn mulai diperkenalkan sebagai identitas baru bagi Dayak yang ada di Kabupaten Pontianak dengan motto “ Adil Ka Talino, Ba Curamin Ka saruga Ba Sengat Ka Jubata”. Dengan prestasinya ini, F. Bahaudin Kay, yang juga wakil bendahara DPD Golkar Kab. Pontianak periode 1983-1988 pada PEMILU tahun 1992, terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Pontianak untuk periode 1992-1997 dari GOLKAR.
(foto; logo DADK)
Setelah pembentukan DAD Kanayatn dilevel kabupaten, istilah Dayak Kanayatn kemudian dipopulerkan berbagai kalangan melalui tulisan dimedia massa, buku-buku serta program-program radio pada tahun-tahun sesudahnya. Misalnya tulisan mengenai Dayak Kanayatn di Buletin Mimbar Untan yang ditulis oleh Martinus Ekok (Albert;2008;36).
Sejak tanggal 1 April 1992, beberapa orang Dayak di Pontianak juga mengadakan siaran radio berbahasa Dayak Kanayatn di RRI Pontianak, yang adalah bahasa baa he, ba nana' yang menyebar di Kabupaten Pontianak dan Sambas. Peran siaran radio ini sangat besar dalam mensosialisasikan identitas Kanayatn untuk orang-orang yang berbahasa Banana'-Ahe, dan varian sejenisnya.
Beberapa akademisi Universitas Tanjungpura juga segera melakukan penelitian dan mempublikasikannya dengan dukungan Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Mereka diantaranya; Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk dengan menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja bahasa Kendayan (1985). Ironisnya, sebagai peneliti, mereka tidak pernah menyatakan kembali nama Kanayatn sebagai suku Dayak yang berbahasa ba ahe/ba nana’/ba dameo/ba jare.
Selain Dewan Adat Dayak Kanayatn yang prestisius itu, saya juga mempelajari sebuah organisasi social kemasyarakatan, dikenal sebagai LSM. Pada tahun 1981, sekelompok intelektual Dayak yang dipimpin oleh A.R. Mecer di Kota Pontianak mendirikan sebuah LSM, namanya Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih. Selain mengelola persekolahan, LSM ini juga mendirikan lembaga penelitian yang dikenal dengan Institute Dayakologi Research and Development (IDRD). Melalui penelitiannya dan kemudian di publikasikan, IDRD semakin mengentalkan identitas baru ini, melalui Majalah Kalimantan Review (KR) serta buku-buku terbitannya. Tanpa sadar, peran banyak pihak telah mempopulerkan identitas baru ini yang berdampak sangat besar pada perubahan-perubahan berikutnya, hingga hari ini.
Kritik atas siapa yang berhak mengunakan identitas ‘Kanayatn’ ini semakin meluas dikalangan intelektual Dayak sendiri pada akhir tahun 2002. Beberapa intelektual Dayak mulai sadar bahwa ada kekeliruan dalam penamaan istilah Dayak Kanayatn yang terlanjur sangat popular di Kalbar ini. Salah satunya, Simon Takdir, alumnus Ateneo de Manila University, Philippnes, Departement of Sociology & Anthropology, major: Cultural Anthropology.
Melalui penelitiannya, Simon mengkritik dari awal penamaan istilah “Kanayatn/Kendayan” yang ditulis Pastor Donatus Dunselman diatas. Lebih lanjut Simon menjelaskan;

“Ketika saya mengecek dilapangan, para informan (emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didapat dan ditulis oleh Dunselman (etik)” (Simon; 2003;15).

Menurut Simon, mungkin kesalahan Dunselman karena ia bukan berprofesi sebagai antropolog. Selanjutnya ia menulis;

“Sebagai seorang social scientist saya menyangsikan artikel Dunselman di atas. Tentu berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog. Bagaimanapun juga, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataanny memang dipersoalkan” (Simon; 2003;15)

Kritik Simon sebagai antropolog mungkin saja cukup beralasan, sebab ia melakukan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, ilmu social yang berbeda dengan sekedar tulisan harian. Selanjutnya ia menulis,

“Penelitian Dunselman banyak dilakukan di kampung Tiakng Tanyukng (hal.21) Mempawah Hulu. Saya tahu bahwa Daerah Tiang Tanyukng dekat dengan desa-desa orang bakati’ (Jirak, Sebangki, Ti,purukng) dan desa-desa orang banyadu’ (pentek, semade, perigi). Kontak antar komunitas dalam hal bahasa, pertukaran barang, perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung. Barangkali Dunselman bertanya seperti ini,” Urakng ahe ba kita’ nian?” Informan itu menjawab, “Aku nian urakng Kanayatn.”

Dugaan Simon, mungkin saja Dunselman menyimpulkan informasi yang didapatnya tanpa mengorek dari informan yang lain lagi. Simon menduga bahwa informan yang diwawancarai pastor ini mungkin dulunya orang Kanayatn yang berbahasa Ba Nyadu dan Ba Kati’, tapi ketika itu sudah menikah dan menetap di Tiang Tanjung sehingga ia mengidentifikasikan dirinya sebagai warga Tiang Tanjung yang berbahasa baa he/ba nana’.
Menurut Simon, disinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah bagi sebuah suku dimasa lalu. Dalam teorinya, Simon memaparkan kepada saya bahwa sebenarnya yang paling berhak menggunakan istilah Dayak Kanayatn itu adalah mereka-mereka yang berbahasa ba nyadu’ dan ba kati’.

“dasarnya adalah ada Binua Kanayatn. Binua kanayatn ini meliputi Kinande, Papan Gersik, Papan Tembawang, Papan Uduk, Sejaruk Param, Sejaruk Tembawang, Bekuan, Bombai dan Pacong di Kecamatan Samalantan Kabupaten Sambas (sekarang Kecamatan Lembah Bawang Kabupaten Bengkayang). Kepala binua mereka yang masih diingat antara lain Daeng (almarhum), Kuyu (almarhum) dan Loge” (Takdir;2003;17)
Argumentasi Simon ini juga didukung oleh sebuah penelitian ilmiah oleh intelektual Dayak tahun 1997. Vincent Julivin dan Nico Andas, misalnya. Mereka menulis;
“….. menurut beberapa sumber, pada tahun 1984 orang-orang yang berdialek ba kati’ dan ba nyadu’ yang sekolah di Nyarungkop masih disebut orang kanayatn oleh orang-orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga orang Kanayatn itu adalah orang-orang yang tidak pasih berbicara dialek ahe/ba nana’. Mereka misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan: -utn, -ant, -ikng, - ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak pasih berbahasa ahe/ba nana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek mpape, banyadu’, dan balangin” (V. Julivin dan Nico Andas (1997)

Sebagai peneliti social, Simon menyimpulkan bahwa mereka yang tidak pasih berbahasa ba ahe/ba nana’ adalah mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’, yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli) dalam ucapan (lapal) ba ahe/ba nana’-nya. Jadi mereka yang non-ba ahe/non-ba nana’ adalah Kanayatn. Dengan demikian, menurut Simon, yang fasih berarti bukan Kanayatn (kandayan). Lalu Dayak apa mereka yang ba ahe/ba nana’ ini? (Takdir;2003;17).
Kritik-kritik atas identitas Dayak Kanayatn ini mulai masuk dikalangan masyarakat Dayak sendiri diperkampungan. Pada tahun 2001, misalnya, sekelompok pemuka Adat Dayak di wilayah Binua Temila yang dipimpin oleh Timanggong Maniamas Miden Sood melakukan musyawarah adat. Seluruh peserta musyawarah, sepakat untuk mengembalikan identitas aslinya, Dayak Bukit.
Namun, menurut Simon, istilah Dayak Bukit pun tidak tepat untuk nama Dayak dikawasan Temila itu. Simon menulis;

“Pada umumnya, suku Dayak Salako dulunya lebih senang tinggal di bukit, termasuk juga suku lain termasuk suku Kanayatn sendiri. Jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak bukan Bukit. Orang Bukit juga terdapat di pegunungan Meratus, di Thailand, di Taiwan (suku Alisan), di Panatubo (Pilipina) dan sebagainya” (Simon;2003;17).

Oleh aktivis Dayak, pergulatan mengenai istilah kanayatn ini mulai diangkat kepermukaan dalam berbagai diskusi, atau forum seminar (lihat Bulletin Simpado, Edisi I Jan-Maret 2004, yang ditulis Kristianus Atok ). Beberapa buku, salah satunya berjudul; Dayak Kanayatn Menggugat (Atok;2003) juga merupakan bagian dari kritisme atas pengentalan identitas

dirilis ulang oleh yulius nerex