Adil Ka Talino Bacuramin Ka Saruga Basengat Ka Jubata,, arusss arusss.. Kami Rakyat Kalimantan Barat mohon pemerintah segera mengambil langkah guna menanggulangi bencana kabut asap, tolong kami

Minggu, Juli 11, 2010

Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta

























Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta
10 Oktober 2009 jam 23:56
Greenpeace Diganjar Hukum Adat Rp 75 juta

07 Agustus 2009

PONTIANAK, POS KUPANG. com -Aksi pemasangan spanduk raksasa berukuran 30x6 meter dan merantaikan diri ke
roda-roda eskavator yang dilakukan oleh aktivis lingkungan hidup Greenpeace
dan WALHI Kalbar, Kamis (6/8), diganjar hukum adat sebesar 75 Juta rupiah.
Sanksi uang sebanyak itu diberikan oleh masyarakat adat di Desa Mantan,
kecamatan Suhaid, Kapuas Hulu, setelah rombongan lembaga swadaya Masyarakat
(LSM) lingkungan tersebut memasuki areal PT. Kartika Prima Cipta (KPC)
tanpa izin. " kita sangat menghargai masyarakat dan hukum adat yang berlaku
disana. Kami belum akui itu salah kami. WALHI Kalbar dan Greenpeace berurusan
dengan PT. KPC serta sinar Mas Group bukan dengan masyarakat, "ungkap Deputi
WALHI Kalbar, Hendi Candra kepada Tribun Pontianak, Kamis.
Sebanyak 10 Aktivis WALHI Kalbar dan Greenpeace berangkat dari Sejiram pukul 03.00 wib
dan sampai di desa Mantan, Suhaid 05.00 wib setibanya dilokasi areal perkebunan
PT. KPC, mereka berbagi tugas, ada yang memasang spanduk dan empat aktivis
lainnya merantaikan dirinya ke roda-roda eskavator. Panjang rantai
rata-rata 1-2 meter dan dikunci menggunakan gembok.
Namun sekitar pukul 09.30 WIB, masyarakat berdatangan kelokasi tersebut dan
meminta secara paksa agar para aktivis lingkungan menghentikan aksinya.
Tidak mau terjadi benturan dengan masyarakat, akhirnya mereka menurut saja
dan dibawa kekantor Camat Suhaid.
Selama 7 jam, sejak pukul 10.00 - 17.00, mereka ditahan dan disidang secara
adat, termasuk 3 wartawan, yakni David Kongo (reporter dari Ruai TV), Ijam
(Majalah kalimantan review) dan Aceng Mukaram (Kontributor Radio 68 H).
"awalnya kami diberikan hukum adat sebesar 1,6 miliar. Namun kita tidak mau
beguitu saja menerima hukum tersebut. Setelah negosiasi, akhirnya menjadi 75
Juta Rupiah, ujar Aceng.
Uang denda adat itu , perinciannya untuk masyarakat adat Dayak Rp 48 juta
dan Melayu Rp 27 juta. Mereka dituduh telah melanggar adat kesopanan dan
salah basah (masuk tanpa izin). Juru kampanye hutan Greenpeace Asia
Tenggara, Joko Arif, mengatakan Sinar Mas Group memiliki sembilan anak
perusahaan yang memiliki areal konsesi perkebunan di sekitar Taman Nasional
Danau Sentarum (TNDS).
TNDS merupakan hulu dari sungai Kapuas, sehingga memiliki arti penting bagi
masyarakt kalbar4. sementara itu, General Manager (GM) PT. Sinar Mas wilayah
Kalimantan Barat, Bernard Ho, mengatakan, pihaknya sama sekali tidak pernah di minta
izin oleh Greenpeace sebelum masuk dan melakukan aksinya. Mereka hanya
katakan mau sosialisasi dan foto-foto di areal perkebunan.

Fantastis
Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalbar, Thedeus YTUs, mengatakan, hukuman
"salah basah" merupakan hukuman bagi orang yang masuk kampung tanpa izin,
dan penerapannya tidak begitu saja. Denda yang mencapai 75 juta untuk dua
kesalahaan, adat kesantunan dan salah basa. Sangat fantastis. Perbuatan
seperti itu tidak lazim dan jangan jadikan adat sebagai alat. Denda sebesar
itu diluar batas kewajaran.
"Kita tidak menginginkan adat dijadikan alat. Sebagai pribadi, saya minta
itu ditinjau ulang. Penerpan adat yang sangat keliru, jangan orang tidak
berwenang mengeluarkan hukumnya, " jelas Thadeus Yus yang dikonfirmasi,
kamis malam.
Sekretaris majelis Adat Budaya Melayu (MABM) kalbar, Sulfyadar Zaidar
Mochtar, mengatakan, penerapan hukum adat mesti seiring sejalan dengan hukum
positif yang berlaku di Indonesia, tidak bisa bertolak belakang. Tidak
semaunya saja hukum adat diberlakukan, jika ada terjadi pelanggaran. Tidak
tepat diterapkan ke Greenpeace, mesti dilihat apa yang mereka langgar.
"Apakah ditempat ijin perkebunan Sinar Mas tersebut diberlakukanb tanah
hukum adat? Kalau itu berlaku,Sinar Mas tidak berada di tempat itu. Kalau
tidak, tak pantas Greenpeace dan WALHI memperoleh hukum adat," katanya
dengan tegas. (Tribun Pontianak (www.tribunpontianak.co.id) / Fakhrurrodzi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar